Retail Therapy vs. Impulsive Buying

6 Min Read

I’d rather spoil all my friends with my riches

Think retail therapy my new addiction

-7 Rings oleh Ariana Grande-

Lagu ini menampilkan Ariana membual tentang uang dan banyak kemewahan lainnya, termasuk berlian dan rumah, dan salah satu caranya menikmati uangnya adalah dengan melakukan Retail Therapy. Apa arti retail therapy sebenarnya? Apa dampaknya untuk kehidupan?

Retail Therapy vs Impulsive Buying
Foto oleh Harry Cunningham/Unsplash

Retail therapy atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Terapi Ritel adalah salah satu aktivitas berbelanja yang dilakukan untuk memperbaiki mood seseorang. Sederananya, membeli sesuatu untuk kepuasan atau kesenangan saja. Menurut studi, ada 62% orang membeli sesuatu untuk menghibur diri sendiri dan 28% lainnya berbelanja untuk merayakan sesuatu.

Ada satu keadaan lain yang berhubungan dengan aktivitas berbelanja, yaitu impulsive buying atau belanja impulsif. Sama seperti namanya, belanja impulsif adalah aktivitas berbelanja yang dilakukan secara spontan, contohnya ketika ingin berbelanja kebutuhan sehari-hari yang sangat diperlukan, namun berakhir dengan membeli juga barang yang tidak direncanakan. Kegiatan ini juga cukup sering terjadi pada beberapa orang.

Apa yang menyebabkan keduanya?

Jika Terapi Ritel digunakan untuk memperbaiki mood, maka bisa dikatakan stres menjadi pemicu utamanya. Terapi Ritel akan mengaktifkan neurotransmiter seperti dopamin dan endorfin yang meningkatkan mood Anda.

Belanja impulsif juga bisa disebabkan oleh stress, karena biasanya barang yang dibeli juga barang yang tidak terlalu dibutuhkan namun hanya untuk pemuas diri saja. Selain itu, belanja impulsif juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan seperti diskon, hubungan antara pedagang dan pembeli, dan peran atau posisi individu.

Terapi Ritel dan belanja Impulsif sangat mungkin terjadi pada diri kita sendiri, namun kita juga perlu aware dengan keadaan kita sendiri, tentunya dengan keadaan kantong kita juga. Kamu perlu waspada apabila kamu merasa tidak bisa mengontrol pembelian, ingin menyembunyikan hal yang kamu beli, merasa melakukan pengeluaran yang berlebih, tidak merasa senang setelah melakukan pembelian, merasa terintimidasi apabila ada orang lain bertanya spending kamu terhadap sesuatu, dan juga merasakan emosi negatif apabila tidak berbelanja. Bisa jadigejala-gejala yang disebutkan tadi mengarah pada shopping addiction atau compulsive shopping disorder yang dalam Bahasa Indonesia disebut pembelian kompulsif.

Kalau kamu sudah kecanduan berbelanja, kamu akan tetap berbelanja walaupun kamu tahu benar barang belanjaanmu bukan termasuk dalam barang yang kamu butuhkan atau perlukan. Berbelanja menjadi cara kamu untuk mengatasi stres, sampai-sampai kamu terus berbelanja secara berlebihan meskipun hal tersebut jelas berdampak negatif pada bidang lain dalam kehidupan kamu. Seperti kecanduan lainnya, keuangan dan hubungan menjadi rusak, namun orang yang mengalami pembelian kompulsif merasa tidak mampu menghentikan atau bahkan mengendalikan pengeluarannya.

Apa yang bisa dilakukan?

Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan agar bisa mengontrol kebiasaan belanja kamu agar tidak mengarah ke pembelian kompulsif.

  1. Kurangi godaan

Melihat iklan, konten di sosial media, atau bahkan review dari teman bisa saja mempengaruhi kamu dalam membeli sesuatu. Boleh saja kamu tertarik dengan penawaran tersebut, tapi jangan sampai terlalu memaksakan diri untuk membeli semua hal.

  1. Buat list sebelum berbelanja

Membuat daftar akan membuat kamu lebih fokus pada apa yang merman benar-benar kamu butuhkan saat itu. Mungkin ketika di dalam supermarket atau online shop kamu akan tergiur oleh barang lainnya, namun kamu harus bisa mengontrol diri kamu dengan hanya membeli apa yang sudah kamu list

  1. Ajaklah teman yang bisa dipercaya

Mengajak teman bisa menjadi pengingat agar kamu tidak membeli barang yang tidak kamu butuhkan. Usahakan teman yang kamu ajak adalah orang yang cukup tegas dan tidak mudah tergiur dengan barang lain.

  1. Pertanyakan kembali apakah barang yang dipilih termasuk perlu atau mau

Kamu harus menimbang berulangkali setiap akan membeli barang yang menarik perhatian kamu. Kalau kamu merasa kamu membeli barang itu untuk kesenangan dalam batas wajar, maka kamu boleh membelinya.

Retail Therapy vs Impulsive Buying
Foto oleh charlesdeluvio/Unsplash

Berbelanja merupakan salah satu hal yang sering kita lakukan setiap hari. Baik Terapi Ritel ataupun belanja impulsif bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Semoga dengan artikel ini kamu bisa lebih aware tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi dalam perilaku berbelanja kamu dan bagaimana cara mengatasinya.

Ditulis oleh Firyal A/aboveeidea

Referensi

Black Bear Lodge. (2022). Causes for Compulsive Shopping. Diakses melalui https://blackbearrehab.com/mental-health/behavioral-process-addictions/compulsive-buying-disorder/causes/#reasons-behind-compulsive-shopping pada 10 Juni 2024.

Clarity Clinic. (2024). The Science Behind Retail Therapy. Diakses melalui https://www.claritychi.com/blog/the-science-behind-retail-therapy pada 11 Juni 2024.

Jeanna Smiley. (2022). Can Retail Therapy Actually Be Helpful?. Diakses melalui https://www.verywellhealth.com/retail-therapy-5217208#toc-benefits-and-drawbacks pada 11 Juni 2024.

Samantha Wong. (2023). 9 Psychological Reasons Behind Impulse Buying. Diakses melalui https://m2comms.com/2023/04/03/9-psychological-reasons-behind-impulse-buying/ pada 10 Juni 2024.

Sharlene Tan. (2021). Is Retail Therapy for Real?. Diakses melalui https://www.webmd.com/balance/features/is-retail-therapy-real pada 10 Juni 2024.

TAGGED:
Share This Article
Leave a Comment