Masih Terlalu Banyak Konflik Antar Umat Beragama Terjadi

8 Min Read

Indonesia bukan negara Islam. Indonesia bukan negara Kristen. Indonesia bukan negara Hindu. Indonesia bukan negara agama-agama lainnya itu. Maka sebetulnya suatu hal yang ngaco apabila kepedulian terhadap Republik dan warga-wargi di dalamnya lebih rendah daripada kepedulian terhadap agamanya masing-masing. Kepedulian terhadap Republik ini artinya kepedulian secara utuh, termasuk sesama bangsa di dalamnya – masyarakat Indonesia. Nah, kita ini masih sangat ngaco. Alasannya sederhana, kita masih berperang soal agama dan kepercayaan, memerangi saudara sebangsanya pula.

konflik umat beragama
Konflik Umat Beragama. Desain oleh Ahyar S/aboveeidea

Terlalu banyak konflik sosial-religius yang terjadi: Protes lokasi ibadah Kristen oleh oknum ASN Bekasi (September 2024); GBI Solagracia di Padang diintimidasi, diancam, dan dibubarkan saat mengadakan kebaktian (September 2023); SETARA Institute menemukan 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama di 2022, 44 kasus di 2021, 24 kasus di 2020; Komnas HAM mendapat 23 laporan tentang kasus rumah ibadah di berbagai daerah sepanjang 2017-2019. Mengapa masalah seperti ini tidak pernah selesai? Jikalau pendirian rumah ibadah tidak memenuhi syarat dalam SKB 2 Menteri tentang Rumah Ibadah, seharusnya itu bersifat administratif saja: bukan penolakan oleh sesama warga negara yang beragama lain. Melalui tulisan ini, Penulis menyampaikan kegelisahan, renungan sekaligus sedikit solusi untuk kita semua: bahwa konflik semacam ini seharusnya bisa diselesaikan melalui bercermin diri.

Agama adalah religion yang berarti “human beings’ relation to that which they regard as holy, sacred, absolute reverence; the way people deal with concerns about their lives and their fate after death; they are expressed in terms of one’s relationship with or attitudes toward the broader human community.” Dengan kata lain, agama adalah hubungan makhluk dengan Tuhan, hubungan makhluk dengan kehidupan dan pasca kematian, dan hubungan makhluk dengan komunitas – sesamanya.

Secara konseptual, di dalam agama ada faith: kepercayaan. Faith yang dimaksud di sini seharusnya meliputi tiga pengertian tadi. Nah, poin pertama adalah hubungan makhluk dengan Tuhan, bahasa lainnya Ketauhidan. Pembicaraan-pembelajaran tentang Ketauhidan ini hanya bisa ditemukan di waktu-waktu tertentu saja. Kedua, tentang kehidupan pasca kematian. Ini yang terlalu sering dibahas. Di ceramah dan di kesempatan apapun selalu ada pembahasan surga-neraka. Ketiga, yang paling jarang ditemui di kesempatan atau kajian-kajian. Padahal, ini tidak kalah penting ketimbang dua poin di atas. Lihatlah fakta di komplekmu bahwa masih banyak orang yang seenaknya menghakimi orang lain tidak masuk surga blablabla. Itu adalah akibat kurangnya pemahaman poin ketiga tadi dan bercermin diri.

Bercermin Diri di sini adalah di mana kita meletakkan diri kita terhadap ajaran-ajaran agama yang kita peluk. Cobalah gali lebih dalam perkara hubungan kepada sesama. Cobalah merenungkan tindakan-tindakan kita. Tindakan Bercermin Diri ini juga harus didukung peran pemuka agama. Kenapa demikian? Pertama, pemuka agama memiliki kewajiban mengajarkan faith itu kepada umatnya sebagai perpanjangan tangan dari Tuhan. Pemuka agama provides spiritual guidance dan mengajarkan tentang faith akan agama itu sendiri. Melihat hal ini, seharusnya pemuka agama dalam membawakan kajian kepada masyarakat musti membawa kajian yang berimbang antara tiga poin faith di atas. Pemuka agama harus juga menyuarakan tentang Ketauhidan, tentang hubungan kepada sesama, dan mengurangi pembahasan pasca kematian. Biar seimbang. Pemuka agama memiliki kapasitas untuk suarakan masalah ini. Pemuka agama juga memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memberi pemahaman kepada masyarakat umum tentang tata cara bermasyarakat yang baik dan benar.

Kedua, dalam kasus yang sering dialami oleh bangsa kita yang notabene adalah isu dengan karakter sosial-religius, norma agama adalah norma yang paling mudah diterima oleh masyarakat ketimbang norma hukum. Mengapa demikian? Penulis mengutip penelitian oleh Emily Liquin et.al. di tahun 2020 yang menyimpulkan bahwa agama memberi toleransi terhadap penjelasan yang bersifat misterius ketimbang sains (termasuk social science). Sains membutuhkan penjelasan yang lebih kompleks untuk dapat diterima manusia (satisfaction). Di sisi lain, agama hanya memerlukan sedikit penjelasan untuk dapat pada titik satisfaction. Atas kemudahan penerimaan ini, agama harus juga mengajarkan bagaimana cara bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara adil dan penuh.

Pendekatan sejenis pernah Penulis lakukan saat penyuluhan hukum di suatu desa tradisional. Penyuluhan dilakukan karena masalah pernikahan dini yang meresahkan dan tidak adil bagi perempuan. Setelah berdialog-berdiskusi dengan para warga dan para pemerintah desa di situ, kami menemukan tiga alasan yang seharusnya menjadi concern kita bersama. Dan yang paling menarik adalah cara menanggulangi perkara ini: yakni peran pemuka agama adalah hal krusial untuk dapat mengedukasi masyarakat. Alasannya adalah pemuka agama jauh lebih didengar oleh masyarakat.

Berbanding terbalik jika hanya kami yang mengedukasi. Ini menjadi logis karena dibutuhkan pendekatan lebih dalam rangka memberikan pemahaman tentang hubungan masyarakat yang baik dengan latar belakang yang majemuk seperti Indonesia. Terlalu rumit menjelaskan materi konseptual tentang cara kerja demokrasi, bagaimana perbedaan dapat diakomodasi, dan perihal-perihal yang ndakik-ndakik lainnya. Manusia lebih mudah menerima jika itu berkaitan dengan kepercayaan mereka. Maka adalah hal yang cerdik jika pemuka agama dapat menghubungkan fenomena bermasyarakat dengan nilai-nilai agama. Saya yakin tiap agama juga mengajarkan yang namanya toleransi yang benar dan baik. Bukan saatnya kita berharap penegakan hukum melulu. Kita identifikasi akar masalahnya: yakni masyarakat itu sendiri. Lagipula, masyarakat lah yang membentuk hukum. Argumen ini didukung oleh R Abdoel Djamali dan Mirror Thesis oleh Durkheim.

Dalam konteks tulisan ini, agama harusnya dipergunakan juga sebagai cermin: untuk menyampaikan bagaimana bernegara yang baik; memberi pemahaman bagaimana bertoleransi sesama umat; memahami bagaimana bertoleransi dengan umat lain. Bukan hanya bagaimana cara masuk surga. Mari dimulai dari yang paling dekat dengan kita, di sisi Islam, Khotbah Jumat dapat digunakan. Khotbah Jumat adalah waktu yang pas untuk Pengkhotbah dan jamaah muslim bertemu di masjid. Di situ harusnya juga diberi pemahaman bahwa bernegara punya standar ideal. Banyak yang belum mengerti cara bermasyarakat yang baik, yang bahkan tabu jika membicarakan agama lain selain agamanya. Ini adalah krisis. Konflik sosial-religius harus menjadi isu prioritas dibandingkan dengan keindahan surga dan kengerian neraka. Keindahan surga adalah keselamatan pribadi. Namun, pentingnya negara kita jangan sampai dilupakan.

Menutup opini ini, Penulis mengutip Georg Hegel yang mengatakan, “we learn from history that we do not learn from history.” Konflik sosial-religius termasuk kebebasan beragama sudah terlalu sering terjadi di masa lalu. Kenapa kita tidak belajar? Edward Luce juga mengatakan bahwa, “history does not end. It is a timeless repetition of human folly and correction.” Dari sini, seharusnya kita benar-benar belajar dari kebodohan kita agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.

Penulis: Brillian
Editor: Firyal A.


Tulisan ini merupakan opini dari Brillian, dikemas dalam Rabu Opini dan terbit di hari Rabu.

Selamat datang di Rabu Opini, ruang istimewa dari aboveeidea yang memberi wadah kepada siapapun untuk berbagi komentar dan pandangan. Di sini, kalian akan menemukan ide, sudut pandang pembuka pikiran, hingga pengalaman yang dunia harus tahu. Klik Ketentuan Rabu Opini untuk bergabung!

Share This Article
Leave a Comment